Simposium Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK, Community-based Disaster Risk Management - CBDRM) merupakan media semua untuk saling bertukar pengalaman dan pembelajaran, alat-alat serta kerangka kerja untuk membangun jaringan kerja pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas di Indonesia. Simposium yang kemudian disebut KN-PRBBK ini diprakarsa oleh kalangan organisasi masyarakat sipil pada tahun 2004.
Simposium CBDRM I pada bulan Agustus 2004 di Yogyakarta memotret berbagai kegiatan PRBBK di lapangan. Simposium CBDRM II di Jakarta menghasilkan Deklarasi Cikini dan sekaligus merumuskan metode, praktek dan kerangka kerja PRBBK. Hasil Simposium CBDRM III digunakan sebagai strategi utama dalam pengurangan risiko bencana nasional yang terangkum dalam buku panduan (Living Guidebook) CBDRM. Simposium CBDRM IV mempromosikan akuntabilitas negara terhadap Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Konferensi[1] Nasional PRBBK V di Makassar mendorong pelembagaan gerakan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas sebagai gerakan bersama dengan menjadikan Konferensi Nasional PRBBK yang diselenggarakan secara rutin sebagai salah satu perangkat gerakan ini. Konferensi Nasional PRBBK VI di Jakarta memotret daerah perkotaan sebagai wilayah yang perlu mendapat perhatian dalam hal pengerahan sumberdaya, terutama komunitasnya, terkait dengan Pengurangan Risiko Bencana. Konferensi Nasional PRBBK VII di Yogyakarta digunakan untuk melihat bagaimana proses pemulihan dengan menggunakan perspektif PRBBK. Konferensi Nasional PRBBK VIII dilaksanakan di Kupang NTT dengan mengangkat tema Kepemilikan, Akuntabilitas dan Ketataprajaan PRBBK. KN PRBBK IX bulan Juni tahun 2013 di Padang mendorong visibilitas perempuan dan anak perempuan dalam pembentukan komunitas tangguh bencana, termasuk di dalamnya sebagai gambaran umum atas perhatian dan fakta untuk melindungi perempuan pada sebelum-saat-setelah bencana. Mengangkat pemahaman atas keadilan gender dan inklusifitas gerakan PRBBK dengan tidak selalu menempatkan Perempuan dan Anak Perempuan sebagai objek yang membutuhkan pertolongan. KN PRBBK X di Bengkulu pada bulan Oktober mengangkat tema “Ketangguhan Masyarakat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terhadap Bencana dan Perubahan Iklim”. Pemilihan bulan Oktober sebagai bulan PRB juga telah dijadikan agenda rutin oleh BNPB dan BPBD seluruh Indonesia merupakan salah satu upaya proses dan hasil konferensi dapat langsung diangkat pada pertemuan nasional yang dikuti oleh para pihak oleh penyelenggara Negara. Tema integrasi API dalam PRB serta isu kepulauan kecil menjadi sangat krusial untuk menjadi pertimbangan dalam PB. Tahun 2015 KN PRBBK XI mengangkat tema “Membangun Ketangguhan Komunitas dalam Mereduksi Bencana Lingkungan dan Industri” telah menjadi media untuk memperkuat gerakan pengurangan risiko bencana secara komprehensif dan sistematis dengan didukung oleh suatu komitmen yang kuat dari semua pihak (stakeholders). Tahun 2016 KN PRBBK XII mengangkat tema “Perlindungan sebagai Upaya Memastikan Ketangguhan Komunitas”. Tema ini diharapkan dapat menggarap beragam isu perlindungan, dari perlindungan ekosistem, perlindungan sarana dan prasarana vital, perlindungan sumber produksi dan pasar lokal, dan perlindungan kelompok rentan, termasuk isu-isu perlindungan anak.
Tahun 2017 KN PRBBK XIII mengangkat tema “Menguatkan Tata Kelola Sumber Daya Berbasis Komunitas Menuju Masyarakat Tangguh Bencana”. Isu ini sudah sering dibicarakan secara terpisah dari pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas. Dalam kenyataan skala permasalahannya menunjukkan kerusakan sumber daya mengalamipeningkatan setiap tahunnya. Tata kelola sumber daya yang masih berpusat pada pemerintah merupakan salah satu sumber pemicu kerusakannya.